Selasa, 07 Maret 2017

BIMBINGAN DAN KONSELING (BK) UNTUK SEKOLAH DASAR

 BIMBINGAN DAN KONSELING (BK) UNTUK SEKOLAH DASAR


Diskripsi Pertumbuhan serta psikologi Remaja





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era global belakangan ini perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat berubah sangat cepat. Pesatnya kemajuan ilmu teknologi komunikasi seakan semakin mempersempit dunia. Berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia dapat disaksikan secara bersamaan di setiap ruang tamu keluarga. Apa yang terjadi Amerika dalam hitungan detik dapat kita sakisikan di ruang tamu rumah kita. Tentunya hal ini akan memicu timbulnya berbagai perubahan peradaban manusia di segala bidang, seperti nilai-nilai adat-istiadat bergeser, struktur organisasi kemasyarakatan berubah, begitu pula politik, ekonomi, pendidikan pola hidup, dan lain sebagainya.
Dari pergeseran tersebut, tentunya akan membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya kemajuan ilmu dan teknologi mampu meningkatkan kesejahteraan umat manusia, Ini tentunya hanya bagi mereka yang mampu bersaing untuk mendapatkan kesempatan. Sebaliknya dampak negatif dari kemajuan ilmu dan teknologi adalah, bagi mereka yang kurang mampu bersaing justru akan menjadi bumerang yang akhirnya menyengsarakan kehidupannya sendiri. Mereka akan hidup serba ketinggalan, keterbelakangan, keputusasaan dan kebodohan serta kemiskinan.
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia juga tidak mampu untuk menghindari perubahan tersebut. Indonesia yang semula masyarakatnya berpola hidup secara agraris, pelan-pelan mulai meninggalkan pola kehidupan agrarisnya. Mereka beranggapan pola kehidupan agraris tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidup. Semuanya itu berawal dari pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, sebagai akibat tersentuhnya budaya yang maju. Secara rasional apa yang dilakukan masyarakat tidaklah suatu hal yang salah. Sebab apa yang dilakukan masyarakat merupakan suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan keadaan, kebutuhan yang timbul sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Namun, di pihak lain perubahan tersebut disusul dengan berbagai permasalahan dalam masyarakat, seperti: pengangguran, meningkatnya angka putus sekolah, kenakalan remaja, perkelahian pelajar, perang antar anggota masyarakat desa yang satu dengan anggota masyarakat yang lain, narkoba, sikap malas dan cenderung manja, prestasi belajar menurun, menyendiri, dan berbagai masalah individu lainnya.
Menghadapi kondisi masyarakat yang demikian, peran Bimbingan Konseling (BK) di sekolah seakan memberikan sepercik harapan. Paling tidak peran BK di sekolah memberikan udara segar demi masa depan generasi penerus Indonesia. Sesuai dengan hakekat eksistensi profesi BK menyentuh semua individu dalam latar dan kondisi masing-masing, agar setiap Individu mampu berkembang secara optimal.
Sayang keberadaan BK yang terlalu muluk diharapkan, terpaksa harus mengalami jalan panjang, dan penuh tikungan. Sekalipun keberadaan BK di sekolah sudah puluhan tahun, tetaapi harapan itu seakan tinggal harapan. Keterkurungan dan kerancuan dalam memberikan makna pada profesi bimbingan dan konseling mempersempit bidang garapan dan eksistensinya. Akibatnya keberadaan BK tidak menimbulkan acungan jempol sebagai tanda pengakuan keberadaannya, tetapi justru tertepisnya semua harapan dan menimbulkan berbagai kritik dan celaan.
B. Tujuan dan Hakekat Bimbingan Konseling Di Sekolah
Menurut WS. Wingkel tujuan utama diberikan bimbingan konseling di sekolah menengah adalah untuk mendongkrak tercapaianya tujuan pendidikan secara optimal. Sedangkan tujuan pendidikan sendiri adalah untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif (tingkah laku dan sikap) dalam diri siswa yang sedang berkembang menuju kedewasaannya. Keberadaan bimbingan dan konseling diharapkan dapat dijadikan wahana bantuan, bimbingan, tuntunan, pendorong, terhadap setiap siswa dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang timbul dalam hidupnya. Dengan demikian diharapkan siswa mampu menjaga kesehatan mentalnya dan mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.
Mengingat semuanya itu, dunia pendidikan Indonesia tidak mau ketinggalan mengusung suatu pelayanan yang dianggap mutakhir itu sejak tahun 1963/ 1964 mulai dibukanya jurusan BK di IKIP Bandung.
Program tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Bimbingan konseling semakin mendapat respon positif dari dunia pendidikan, sehingga dalam kurikulum tahun 1968 eksistensinya semakin kukuh. Kehadiran BK diperkuat lagi dengan munculnnya Proyek Perintis Sekolah (PPSP) yang mengharuskan setiap sekolah menyediakan unit atau ruang bimbingan dan konseling. Kemudian ketika kurikulum 1975 lahir semakin mantap kehadirannya. Kurikulum 1975 menjadi pondasi dan pilar penyangga eksistensi bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam konteks pendidikan seutuhnya, pelayanan bimbingan dan konseling merupakan suatu faktor yang paling esensial, dengan syarat seluruh pengelola dan pelaksana pendidikan menginginkan setiap siswa berkembang secara optimal untuk menjadikan setiap individu yang, (1). Beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa. (2). berbudi pekerti luhur, (3). memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan, (4). Sehat jasmani dan rohani, (5). Berkepribadian mandiri dan mantap. (6). Jujur dan penuh keikhlasan dan (7). Bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa dan negara. Mereka menjadi pribadi yang terefleksi pada dirinya rasa percaya diri, sabar, bertangggung jawab, memiliki rasa aman, bebas dari rasa cemas, bebas dari ancaman, berwawasan luas, berani mengambil resiko serta menikmati hidup dan kehidupannya berlandaskan keyakinannya akan kebesaran Tuhannya.
Pelaksanaan Bimbingan Konseling (BK) di SD masih memiliki kendala berupa tidak adanya tenaga khusus dan ruang tempat khusus terhadap pelaksanaan Bimbingan Konseling tersebut.
Secara jujur sebenarnya keberadaan bimbingan dan konseling telah memberikan sumbangan yang positif yang tidak sedikit terhadap perkembangan siswa di sekolah. Namun, ada pepatah yang mengatakan tiada gading yang tidak retak. Berbagai kritik dan issue yang melilit keberadaan bimbingan dan konseling terus datang menerpa bagaikan badai yang tak pernah berhenti.
III. Kritik dan Isu-Isu Negatif
A. Kritikan
Meskipun bimbingan dan konseling sudah mendarah daging di seluruh sekolah menengah di Indonesia keberhasilan bimbingan dan konseling jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini menurut Prof. Dr. Prayitno guru besar Universitas Negeri Padang (dulu IKIP Negeri Padang) menegaskan kurang berhasilnya peran bimbingan dan konseling di sekolah, karena konsep tentang BK di sekolah tidak jelas. Kemudian diperparah oleh kemampuan dan keterampilan guru BK yang lemah serta saran pendukung yang sama sekali tidak memadai. Hal tersebut didukung oleh pola pikir yang tidak jelas dalam bidang bimbingan dan konseling di sekolah oleh guru BK sendiri, guru mata pelajaran, kepala sekolah, dan masyarakat awam.
Maka tidaklah begitu berarti, walaupun eksitensinya di sekolah didukung oleh SK Menpan No. 26 / 1989 yang mendudukkan secara resmi bimbingan dan konseling (BK) dalam sistem persekolahan. Bahkan keluarnya SK tersebut sama sekali tidak mampu memompa semangat, karena memang dalam SK tersebut juga tidak disertai aturan dan semangat pelaksanaannya yang menjamin profesionalisasi pelayanan bimbingan. Hampir menyeluruh di semua sekolah di Indonesia beberap guru yang tidak memiliki ilmu tentang bimbingan konseling bahkan pengetahuan secuwilpun tidak menempati atau terpaksa menjadi guru BK, karena kurangnya jam mengajar bagi guru yang bersangkutan.
Di Amerika sejak tahun 1960–an bimbingan dan konseling di sekolah mendapatkan perhatian prioritas, setelah berjalan beberapa waktu ternyata hasilnya juga jauh dari harapan. Akibatnya berbagai kritik pedas tertuju pada keberadaanya di sekolah.
Pine (1974) melontarkan beberapa kritik pedas terhadap petugas bimbingan dan konseling diantaranya: (1). Guru pembimbing mengisolasi diri, dari personil sekolah lainnya, (2). Guru pembimbing lebih banyak bekerja dengan sisiwa yang nakal serta siswa lainnya, yang membutuhkan bantuan khurus, serta siswa yang kebutuhannya tidak tahu arahnya, (3). Guru pembimbing kurang bisa bertindak sebagai sumber dalam bekerja sama dengan guru dan orang tua dalam menangani program sekolah, (4). Guru pembibing tidak efektif dalam menangani siswa yang menimbbulkan kesukaran, (5). Guru pembimbing cenderung takut pada tuntutan akuntabilitas, (6). Pekerjaan guru pembimbng kurang menunjukkan hasil yang berarti, (7). Kebanyakan guru pembing hanya tahu sedikit tentang dunia kerja di luar pendidikan, (8). Guru pembimbing cenderung jadi polisi sekolah dari pada fungsinya sebagai pengayom, (10). Guru pembimbing bekerja seperti layaknya karyawan. Dan lain sebagainya.
Lebih pedas lagi Pine mengatakan bahwa guru pembimbing di sekolah sering bertindak bodoh, masa bodoh dan bekerja tidak dengan sepenuh hati terhadap anak-anak. Kadang guru pembimbing juga tidak memakai prosedur yang semestinya dan tidak terlatih untuk menggunakan teknik dan prosedur profesional.
Aubrey dan Warnth (Nugent, 1981: 105) menyampaikan kritikannya bahwa, guru pembibing sudah menjaddi agen institusi mengenai tugas-tugas administrasi di sekolah. Guru pembibing lebih banyak melakukan pekerjaan administrasi di sekolah, daripada tugasnya sebagai pembibing dan konseling.
Sedangkan Brossard (Nugent, 1981) menyatakan bahwa, guru bimbingan dan konseling terlalu rendah mutunya dalam latihan dan kepribadian. Selain itu Brossard juga menambahkan mereka tidak dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan para siswanya.
Apa yang dilantorkan Pine tersebut ternyata tidak hanya terjadi di Amerika saja. Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Karena itu wajar bila kemudian ada beberapa pendapat lain juga memiliki penilaian yang senada, yakni rata-rata guru pembimbing kurang mampu dan kurang terfokus dalam membantu siswa untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
B. Isu-Isu Negatif
Keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah, memang benar-benar belum menampakkan hasil yang nyata dan seseui dengan apa yang diperkirakan. Bila dibandingkan antara modal dan keuntungan, jelas menunjukkan kerugian yang amat sangat. Karena itu keberadaaanya selain mendapatkan beberapa kritik yang pedas bimbingan dan penyuluhan juga mengundang berbagai isu negatif. Adapun isu tersebut diantaranya adalah:
1. Guru pembimbing di sekolah lebih banyak bersifat menunggu klien, bukan mencari dan menemukan klien. Mereka lebih banyak duduk di kantor atau pada unit layanan bimbingan dan konseling menunggu datangnya siswa secara sukarela untuk menyampaikan informasi tentang dirinya atau masalah-masalah yang dihadapinya. Guru pembimbing hanya menangani siswa-siswa yang dikirimkan oleh guru, wali kelas dan kepala sekolah atau tenaga kependidikan lainnya di sekolah. Mereka kuraang berinisiatif untuk menggugah siswa datang pada unit pelayanan bimbingan dan konseling secara sukarela. Mereka belum berupaya secara intensif untuk menemukan siswa-siswa yang perlu mendapatkan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat siswa serta kondisi psikologis lain yang menyertainya sehingga peserta didik dapat berkembang seoptimal mungkin. Dengan kata lain guru pembimbing bersikap lebih banyak “menunggu” bola, bukan “menjemput” bola. Andaikata tidak ada siswa yang datang, atau merasa dirinya tidak perlu datang ke unit BK, maka ruang tunggu itu akan sunyi dari pengunjung, sehingga guru pembimbing terbebas dari kerja yang seharusnya banyak yang dapat dilakukannya demi perkembangan peserta didik sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya.
2. Guru pembimbing yang berlatar pendidikan prajabatan bimbingan dan konseling belum menunjukkan kelebihan kemampuan profesionalnya dalam menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan tugas bimbingan dan konseling di sekolah, apabila dibandingkan dengan guru pembimbing yang berasal dari bukan jurusan bimbingan dan konseling.
Pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan, nilai dan sikap yang dimiliki guru
pembimbing yang berlatar belakang dari jurusan BK belum memberi warna khusus bagi mereka dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa yang membutuhkannya.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan di SMA Kodya Bandung dan SMA
Pontianak, ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara unjuk kerja guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan jurusan BK dan bukan dari jurusan BK. Aziz Mahfuddin (Achmad Sanusi, et al. 1990 :72) menunjukkan bahwa di beberapaa SMA kodya Bandung, 80% dari guru pembimbing yang menjadi responden penelitiannya memiliki pengetahuan, kepribadian dan ketrampilan menciptakan konseling yang memadai. Dalam penelitian ini, sampel penelitiannya adalah semua petugas bimbingan (termasuk guru pembimbing bukan dari jurusan BK). Hal yang senada ditemukan pula oleh M. Asrori (Achmad Sanusi, et al. 1991 : 72). Ia mengungkapkan bahwa di beberapa SMA kodya Pontianak, unjuk kerja guru pembimbing dapat diklasifikasikan dalam kategori sedang. Namun, dalam latihan memberi, kehangatan, kepedulian, keterbukaan, penerimaan dan merefleksikan perasaan pada guru pembimbing cukup tinggi. Sayang mereka belum memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal mengkonkritkan informasi, merumuskan tujuan, memberi dorongan, merangkum hasil pembicaraan dan menutup konseling. Dalam penelitian ini sampel penelitiannya lebih banyak yang bukan berasal dari jurusan BK. Hasil-hasil dari penelitian tersebut di atas belum dikaitkan dengaan standart perilaku profesional.
Untuk SD sendiri, tidak ada pembimbing khusus dalam program ini. Pembimbingan dan kegiatan konseling dilaksanakan oleh guru kelas. Sayangnya keterbatasan waktu guru kelas membuat program ini tidak berjalan dengan baik. Apalagi di SD N Pati Kidul yang notabene memiliki jumlah siswa sangat besar yaitu 800an.
3. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah belum memberikan nilai tambah dalam pembinaan dan perkembangan siswa. Walaupun layanan bimbingan dan konseling telah dilaksanakaan oleh guru pembimbing di sekolah sejak beberapa waktu yang lalu, ternyata pembinaan dan perkembangan siswa tidak melebihi dari pada pembinaan yang dilakukan oleh guru bidang studi melalui pengajaran atau oleh wali kelas atau pimpinan sekolah. Kenyatan itu menunjukkan bahwa keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah belum bermakna dan berarti secara utuh dan menyeluruh. Tanpa bimbingan dan konseling di sekolah pendidikan juga terlaksana dengan lancar.
4. Guru pembimbing yang belum mampu menunjukkan kegiatan-kegiatan yang bermakna sesuai dengn keperluan dan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi lingkungnnya. Program yang ada dan yang dilakukan belum mampu menunjang program sekolah sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara utuh. Guru pembimbing baru mampu melaksanakan sebagian kecil tugas yang seharusnya mereka lakukan. Mereka masih sangat terbatas dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan membantu guru dan tenaga kependidikan lain di sekolah. Konsultasi, koordinasi dan kerjasama diantara sesama tenaga kependidikan di sekolah belum tergarap dengan tuntas sehingga sumbangan langsung bagi guru dan tenaga yang lain dalam upaya menyukseskan program sekolah secara menyeluruh belum nampak dengan jelas.
5. Tenaga kependidikan lainnya, seperti guru bidang studi, wali kelas, laboran, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah belum mendukung sepenuhnya pelaksanaan bimbingan dan konseling secara utuh dan menyeluruh di sekolah. Mereka lebih banyak mengutamakan penanaman pengetahuan dan kemampuan, namun kurang memperhatikan pembinaan dan perkembangan kepribadian siswa secara utuh. Masalah-masalah pribadi, sosial dan masaalah belajar yang terdapat diantara siswa belum tergarap dan terungkap dengan baik. Kondisi inipun berkaitan erat pula dengan masih sedikit terbatasnya upaya guru pembimbing dalam memasyarakatkan bimbingan dan konseling terhadap masyarakat sekolah. Guru bidang studi masih ada yang meragukan peranan bimbingan dan konseling dalam membantu mengembangkan dan membangkitkan potensi peserta didik. Mereka juga menganggap belum ada sumbangan nyata guru pembimbing di sekolah dalam membantu guru bidang studi melakukan penyempurnaan/ perbaikan proses belajar mengajar sehingga memungkinkan peserta didik belajar lebih tekun, lebih bersemangat dan lebih berhasil.
6. Fasilitas fisik dan keuangan yang disediakan sekolah belum dapat menjamin terlaksananya program bimbingan dan konseling yang mendukung, memperlancar tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Kepedulian yang masih terbatas dari masyarakat sekolah membawa pula efek sampingan pada pelaksanaan program bimbingan di sekolah.
Berkenaan dengan kemampuan guru pembimbing di sekolah dewasa ini, terlontar pula berbagai issue antara lain : guru pembimbing sekolah adalah polisi sekolah (Prayitno, 1987 :14), guru pembimbing sekolah yang berlatar pendidikan strata nol (S 0) tidak siap pakai (Munandir, 1986:2) serta berbagai ungkapan lain seperti guru pembimbing sekolah adalah petugas administrasi, pelaksana koperasi sekolah, pemberi nasehat, pelaksana kegiatan ekstra kurikuler, pengawas keamanan sekolah, pelaksana absensi sekolah, petugas piket dan mengawasi anak-anak yang bermasalah, menyelesaikan perkelahian pelajar, memanggil orang tua siswa anak yang bolos, sering menimbulkan keributan dan sebagainya.
Fenomena di atas sebenarnya tidak hanya terjadi pada sekolah tempat mengajar penulis. Namun, penulis sangat yakin di beberapa sekolah menengah lain sekabupaten Pati, bahkan Jawa Tengah, dan seluruh Indonesia juga tidak jauh beda. Beberapa teman Guru BK sering mengeluhkan hal yang sama dalam pertemuan-pertemuan baik secara resmi atau non resmi.
IV. Faktor- faktor Penghambat
Adapun fenomena di atas terjadi tidak secara sendirinya disebabkan kesalahan program bimbingan dan penyuluhan semata-mata. Namun beberapa faktor lain sangat dominan dalam menghambat keberhasilannya, dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun faktor-faktor tersebut diantaranya: (1). Kepala sekolah menempatkan petugas bimbingan dan konseling, bukan orang yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling. Karena situasi tertentu, beberapa guru kelas, ditugaskan menjadi guru bimbingan dan konseling untuk menyelamatkan mereka. (2). Sedangkan kalau dilihat dari sisi jumlah petugas bimbingan dan konseling masih jauh dari apa yang diharapkan. Rata-rata di setiap sekolah menengah kabupaten Pati, setiap guru bimbingan dan penyuluhan, memegang lebih dari delapan kelas. Idealnya mereka hanya menangai sekitar 4 – 5 kelas. (3). Kurangnya dukungan dari lingkungan sekolah. Mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga administrasi dan orang tua siswa terhadap peran dan keberadaan bimbingan dan penyuluhan. Akibatnya dalam melakukan perannyaa petugas bimbingan dan penyuluhan sering harus bertabrakan dengan berbagai guru dan birokrasi sekolah itu sendiri. (4). Fasilitas penndukung, baik sarana prasana yang dapat menunjang petugas bimbingan dan penyuluhan melakukan fungsi masih sangat memprihatinkan. (5). Pengakuan masyarakat termasuk masyarakat di sekolah belum sepenuhnya tuntas akan eksistensi bimbingan dan penyuluhan. Hal ini berakibat kurang baiknya dalam melakukan kerja sama, baik antara petugas BK, dengan orang tua wali, Petugas BK dengan para guru mata pelajaran, dan kerja sama antara petugas BK dengan masyarakat lingkungan sekolah.
V. Penutup
Eksitensi BK di sekolah memang belum menunjukkan keberhasilan yang optimal. Sekalipun demikian eksistensi bukan berarti tidak penting, atau tidak dibutuhkan sama sekali. Eksistensi BK di sekolah masih sangat diperlukan untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan belajar secara optimal. Namun, di lain pihak Petugas atau guru BK sendiri perlu meningkatkan kinerja dan kemampuannya dalam menjalankan fungsinya. Tanpa itu semua keberadaan BK selamanya tetap akan mengundang kritik dan issue-issue negatif yang justru akan melemahkan fungsinya di sekolah.
Tentu saja guru BK tidak bisa bekerja secara individu atau kelompoknya saja, dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kinerja. Guru BK harus menjaring kerja sama dengan beberapa komponen sekolah baik dengan gurui mata pelajaran, masyarakat lingkungan sekolah, orang tua wali dan dengan siswa itu sendiri. Untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dalam mencapai tujuan bersama.
Dukungan dan pembinaan kepala sekolah dalam upaya penempatan kinerja dan kemampuan guru BK di sekolah tidak kalah penting. Pemberian kewenangan yang diberikan kepala sekolah terhadap petugas atau guru BK justru merupakan salah satu faktor yang paling dminan, untuk mendukung petugas atau guru BK dalam menjalankan fungsinya. Sebab sebagus apapun program, kemampuan, dedikasi seorang guru BK tanpa dukungan secara optimal dari seluruh komponen sekolah, tidak akan ada artinya. Karena itu peran kepala sekolah dalam mengkondisikan peran dan fungsi BK justru sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan bimbingan dan konseling di sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar